Zlatan Ibrahimovic dengan jelas mengingat momen ketika ia pertama kali bergabung dengan Juventus pada usia 22 tahun. Perasaan yang ia rasakan saat itu digambarkannya seperti hidup dalam dunia fantasi. Berikut ini GOAL MATES akan menjelaskan beberapa berita menarik seputar sepak bola lainnya.
Pemain yang kini menjadi penasihat AC Milan itu tiba dari Ajax dan langsung berbagi ruang ganti dengan para legenda sepak bola. Ia duduk berdampingan dengan bintang-bintang seperti Lilian Thuram, Gianluigi Buffon, Fabio Cannavaro, Alessandro Del Piero, dan David Trezeguet.
Ibrahimovic mengungkapkan betapa tidak nyatanya pengalaman tersebut baginya. “Seminggu sebelumnya saya masih bermain PS memakai mereka, seminggu kemudian saya sudah bersama mereka di ruang ganti,” kenangnya dalam the European Football Clubs Assembly. Transisi dari pemain virtual di game menjadi rekan satu tim dalam dunia nyata merupakan lompatan besar dalam kariernya. Saat itu, Serie A merupakan liga terkuat di dunia yang dihuni semua pemain top.
AYO DUKUNG TIMNAS GARUDA, sekarang nonton pertandingan bola khusunya timnas garuda tanpa ribet, Segera download!
![]()
Kehadirannya di Italia dengan mentalitas pemuda yang ingin membuktikan diri menjadi titik awal transformasinya. Ibrahimovic mengakui bahwa saat itu ia tidak banyak menghormati siapa pun karena fokusnya untuk menunjukkan kemampuan terbaiknya. Serie A lah yang kemudian membentuknya menjadi salah satu penyerang paling ditakuti di dunia.
Ujian Pertama dari Fabio Capello
Pelajaran paling berkesan bagi Ibrahimovic datang dari pelatih Fabio Capello. Ia masih mengingat dengan jelas pertemuan pertama mereka yang terjadi di meja sarapan tim. Saat itu, Capello sedang membaca Gazzetta dello Sport dan sama sekali tidak menanggapi sapaan “Selamat pagi, Mister” dari Ibrahimovic. Setelah lima hingga sepuluh menit berlalu dalam keheningan, Capello langsung pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Pengalaman pertama yang terasa dingin itu justru menjadi fondasi hubungan mereka selanjutnya. Ibrahimovic kemudian memahami bahwa itulah cara Capello mengajarkannya tentang disiplin panggung yang berbeda. Ketika Ibrahimovic bertanya bagaimana cara mendapatkan rasa hormat dari tim yang berisi bintang-bintang dunia, Capello menjawab dengan tegas: “Saya tidak meminta rasa hormat. Saya mendapatkannya.”
Jawaban tersebut menjelaskan sikap Capello pada pertemuan pertama mereka. Dari pelatih inilah Ibrahimovic belajar bahwa rasa hormat harus diperoleh melalui tindakan dan performa, bukan diminta. Capello kemudian mempercayai Ibrahimovic sebagai striker utama, dan kepercayaan itu dibayar dengan 16 gol di Serie A musim tersebut.
Baca Juga: MU Siapkan Plan B Jika Gagal Dapat Carlos Baleba: Elliot Anderson Diincar
Transformasi Mental Menjadi “Binatang”
Ibrahimovic menyebut Capello sebagai sosok yang keras dan disiplin, namun justru metode itulah yang membentuk mentalnya menjadi lebih tangguh. “Dia membesarkan saya, lalu menjatuhkan saya ke tanah. Suatu hari, saya bisa jadi pemain terbaik di dunia; besoknya, saya bisa dianggap yang terburuk,” ujar Ibrahimovic tentang cara Capello melatihnya. Teknik psikologis ini ternyata efektif memicu performa terbaiknya.
Pelatih asal Italia itu dikenal ahli dalam memainkan emosi dan pikiran pemainnya untuk mencapai potensi maksimal. Ibrahimovic mengakui bahwa Capello berhasil mengubahnya secara mental dari manusia biasa menjadi “seekor binatang” di lapangan hijau. Proses transformasi ini tidak mudah, tetapi membentuk karakter yang membuatnya sukses di berbagai klub besar Eropa.
Meskipun dua gelar Serie A yang diraihnya bersama Juventus di bawah asuhan Capello harus dicabut akibat skandal Calciopoli, pelajaran yang ia dapatkan tetap melekat sepanjang kariernya. Mentalitas tangguh yang ditanamkan Capello menjadi bekal berharga saat Ibrahimovic melanjutkan kesuksesannya dengan meraih lima gelar Serie A bersama Inter Milan dan AC Milan.
Warisan Tak Tergantikan Dalam Sepak Bola
Sepanjang karier panjangnya, Ibrahimovic berkesempatan bekerja di bawah banyak pelatih top dunia. Selain Capello, ia juga sempat dilatih oleh Jose Mourinho di Inter dan Manchester United, Pep Guardiola di Barcelona, serta Carlo Ancelotti di Paris Saint-Germain. Setiap pelatih tersebut memberinya pelajaran berharga dengan gaya dan pendekatan yang berbeda-beda.
Ibrahimovic dengan bangga menyebut dirinya sebagai “arsitek” PSG, klub yang ia perkuat sejak awal era kepemilikan Qatar pada 2012. Ia menyaksikan langsung perkembangan klub tersebut dari awal hingga menjadi raksasa Eropa. Meski tidak pernah meraih gelar Liga Champions sepanjang kariernya, ia justru melihat sisi positif dari hal tersebut. “Semua orang tahu saya tidak pernah juara Liga Champions; itu bukan rahasia,” katanya.
Justru, menurutnya, orang akan lebih mengingatnya karena tidak memenangkan trofi tersebut dibandingkan 90 persen pemain lain yang pernah meraihnya. Pernyataan ini mencerminkan karakter percaya diri yang menjadi trademark Zlatan Ibrahimovic. Pelajaran dari Capello dan pelatih hebat lainnya telah membentuknya bukan hanya sebagai pemain hebat, tetapi juga pribadi dengan mentalitas unik yang dikenang sepanjang masa. Simak informasi seputar sepak bola lainnya hanya di goalmates.net.